Berangkat dari perjalanan yang begitu panjang, diatas puncak yang
begitu gemilang, diatas kesuksesan yang beliau raih selama berada di Peniraman,
dan pengorbanan untuk bertahan hidup yang begitu sulit, yang kemudian menemukan
sebuah kehidupan yang layak lagi mapan, membuat H. Hasyim Yamani (meninggal
pada tahun 1977 M) harus pulang ke tempat asal (tanah), dan dibaringkan di
sebelah kanan Kiyai Haji Fathul Bari (meninggal pada tahun 1960 M) dan
disebelah kiri Habib Muhammad al-Kadrie (meninggal pada tahun 1975 M.) yang
terletak di Desa Peniraman Kabupaten Pontianak.
Munayeh[1]
mengatakan, “ sebelum beliau meninggal, kondisi kesehatannya memang tidak
setabil, dikarnakan demam yang tinggi sehingga dari hidung beliau sering
mengalirkan lendir, dan matanya menangis”. Munayeh menambahkan, “sakit beliau
itu diderita selama satu minggu, dan ketika akan meninggal, di Masjid yang
beliau dirikan terdapat cahaya yang turun dari langit. Cahaya itu turun
menjelang subuh dan tidak lama kemudian H. Hasyim Yamani pun meninggal”. Banyak
orang-orang yang tidak percaya atas meninggalnya beliau, mulai dari kaum muda
hingga kaum dewasa. Meninggalnya beliau seakan-akan menjadi pertanyaan besar,
namun itu adalah kehendak yang diatas, seperti dalam Firman Allah yang artinya
“Setiap yang berjiwa pasti akan merasakan kematian”[2].
Ratapan tangis yang tidak dapat ditahan dan dirasakan, cucuran air
mata yang tak terbendung yang membasahi pipi dan baju dari keluarga, sahabat
maupun orang-orang yang menyaksikan pemakaman H. Hasyim Yamani. Beliau yang
begitu penyantun, berbudi luhur, dan terkenal dimana-mana harus pulang ke rahmatullah.
Subir[3]
mengatakan, “ hari pertama hingga 40 hari beliau meninggal, ratusan orang
berdatangan dari berbagai daerah, seperti: Sui Bakau Besar, Sui Pinyuh, Sui
Purun, Nusapati, bahkan orang-orang berdatangan dari luar Kabupaten Pontianak”.
pasca meninggal, hanya ada kenangan yang masih tersirat didalam
benak orang-orang yang tau mengenai beliau. Dan Cuma ada nama yang masih
dikenang oleh sebagian kelompok orang, Seperti yang telah pepatah katakan, “
gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia
mati meninggalkan nama baik untuk dikenang”.
Pasca meninggalnya beliau, Harta-harta beliau hilang entah kemana.
Dari lahan yang begitu luas hingga gunungpun menjadi persengketaan bagi
orang-orang yang saling berebutan dan saling memiliki. Beliau tidak mempunyai
ahli waris, beliau memang tidak dikaruniakan anak oleh sang Maha Kuasa. Tidak
ada yang berhak untuk menghalangi orang-orang yang saling berebutan walaupun
dari kalangan keluarga sendiri. Beliau tidak memiliki sertifikat atas lahan dan
gunung tersebut.
Jika saat lebaran tiba, baik itu lebaran idhul fitri maupun idhul
adha, mulai dari lebaran kedua hingga ketujuh, hampir dari seluruh penduduk
Kalimantan Barat berziarah ke makam beliau maupun makam KH. Fathul. Sampai saat
inipun tiada henti-hentinya bagi orang yang pergi untuk berziarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar